Monday, February 16, 2009

GAYA HIDUP MEMBERI

Kisah Para Rasul 2: 44-45

“. . . dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai keperluan masing-masing


Pada suatu hari, seorang pemuda menyatakan bahwa dialah pemilik hati yang terindah di kotanya. Banyak orang berkumpul dan mengagumi hatinya karena memang benar-benar sempurna. Tidak ada cacat atau goresan secuilpun di hati sang pemuda. Ia sangat bangga dan mulai menyombongkan hatinya. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menyeruak dari kerumunan, tampil ke depan dan berkata, “Mengapa hatimu masih belum seindah hatiku?”

Semua yang hadir melihat hati pak tua itu sambil kebingungan dengan perkataannya tadi. Mengapa bingung? Karena hati pak tua terlihat penuh dengan bekas luka. Jelek kelihatannya. Ada bekas potongan hati yang diambil dan ada potongan yang lain ditempatkan di situ. Penempatan yang tidak benar-benar pas, sehingga tidak rata. Bahkan, ada bagian-bagian yang berlubang karena dicungkil dan tidak ditutup kembali. Orang-orang tercengang dan berpikir, bagaimana mungkin pak tua itu mengatakan bahwa hatinya lebih indah?

Sang pemuda melihat kepada pak tua, memerhatikan hati yang dimilikinya dan tertawa, “Anda pasti bercanda, pak tua,” katanya, “bandingkan hatimu dengan hatiku, hatiku sangatlah sempurna, sedangkan hatimu tak lebih dari kumpulan bekas luka dan cabikan.”

“Ya”, kata pak tua, “hatimu kelihatan sangat sempurna, meski demikian aku tak akan menukar hatiku dengan hatimu. Lihatlah, setiap bekas luka ini adalah tanda dari orang-orang yang kepadanya kuberikan kasihku, aku menyobek sebagian dari hatiku untuk kuberikan kepada mereka, dan seringkali mereka juga memberikan sesobek hati mereka untuk menutup kembali sobekan yang kuberikan. Setiap sobekan tidak sama. Ada bagian-bagian yang kasar yang sangat aku hargai karena mengingatkanku akan cinta kasih yang telah bersama-sama kami bagikan. Meskipun bekas cabikan itu menyakitkan, dan tetap terbuka, hal itu mengingatkanku akan cinta kasihku pada orang-orang, dan aku berharap, suatu ketika nanti mereka akan kembali dan mengisi lubang-lubang yang ada.

“Sekarang, tahukah engkau keindahan hati yang sesungguhnya?” kata pak tua. Sang pemuda berdiri membisu dan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia berjalan ke arah pak tua, menggapai hatinya yang begitu muda dan indah, lalu merobeknya sepotong. Sang pemuda memberikan robekan hatinya kepada pak tua dengan tangan gemetar. Pak tua lalu menerima pemberiannya, menaruh di hatinya, dan kemudian mengambil sesobek dari hatinya yang sudah amat tua dan penuh luka. Ia lalu memberikannya untuk menutupi luka hati dari si pemuda. Mereka berbagi kasih.

Meneladani pak tua itu, akhirnya si pemuda tadi belajar memberi. Memberi, seperti yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul tadi, merupakan ciri khas yang sangat jelas dalam sebuah persekutuan kristiani. Ini pulalah cara hidup jemaat mula-mula. Rupanya kehidupan memberi telah mendarah daging dalam diri mereka. Coba perhatikan kata “selalu” dalam ayat 45. Kata tersebut dipakai untuk menerangkan tentang adanya jemaat yang berbagi kasih secara terus-menerus pada orang lain yang membutuhkan sesuatu. Seakan-akan ini telah menjadi sebuah gaya hidup yang telah berjalan otomatis. Dan gaya hidup memberi ini jugalah yang disukai Tuhan.

Sudahkah kita memiliki gaya hidup memberi? Sudah tentu memberi di sini tidak hanya dalam bentuk materi, seperti uang, pakaian, barang-barang tertentu. Bahkan, menurut Arvan Pradiansyah, seorang pelatih manajemen SDM, pemberian materi merupakan pemberian dalam tingkat paling dasar. Selain materi, ada pula pemberian yang lebih tinggi, yaitu memberi perhatian. Bentuk pemberian seperti ini yang kadang justru terabaikan. Selama pelayanannya kepada sesama manusia, Ibu Teresa justru menemukan bahwa yang terpenting sebenarnya bukanlah sekadar memasakkan makanan serta membagikannya. Yang terbaik adalah menyapa dan berbicara dengan penuh perhatian kepada orang lain. Tidak heran bila seorang lelaki yang tinggal di rumah kardus yang mendapatkan perhatian dari Ibu Teresa lalu berkata, “Sudah begitu lama saya tidak merasakan kehangatan tangan manusia.” Apakah kita telah memberi perhatian kepada sesama kita? Apakah kita telah memberi perhatian tatkala berbicara dengan orang lain?

Terlepas dari pandangan Katoliknya, Ibu Teresa pernah mengatakan satu hal yang dapat menggugah hati kita: “Di dalam akhir hidup kita, kita tidak akan dihakimi dengan seberapa banyak gelar yang kita miliki, atau seberapa banyak uang yang telah kita kumpulkan, atau seberapa banyak perkara besar yang telah kita lakukan. Kita akan dihakimi dengan ‘Ketika Aku lapar kamu memberi Aku makanan, ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian, ketika Aku tidak punya rumah, kamu memberi Aku tumpangan . . .'”

No comments: