Tuesday, October 21, 2008

SETIA TERUS, TERUS SETIA

2 Timotius 4: 9-10


Pendahuluan

Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di ladang tuannya. Ia mengamati ada begitu banyak binatang peliharaan di sana. Ketika ia mendekati seekor kuda, binatang besar itu memanggilnya dan berkata, “Kamu pasti masih baru di sini. Tak lama lagi kamu akan tahu bahwa pemilik ladang ini mencintai saya lebih dari binatang lainnya sebab saya telah mengangkut banyak barang untuknya. Dan kamu, ah saya kira seekor binatang sekecil kamu tidak ada gunanya.”

Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dengan perasaan sangat sedih. Tak lama kemudian ia bertemu seekor sapi; ia berkata, “Saya adalah binatang terhormat sebab tuanku sering membuat keju dan mentega dari susu saya. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di sini.” Satu per satu binatang yang ada di ladang mengejek kehadiran anjing kecil itu.

Setelah mendengarkan semua ejekan, si anjing kecil pergi ke tempat sepi dan mulai menangis. Ia meratapi dirinya. Tak lama kemudian seekor anjing tua yang mendengar tangisannya mendatangi anjing kecil itu. Setelah mendengarkan cerita anjing kecil, lalu si anjing tua berkata, “Memang benar bahwa kamu tidak bisa menarik pedati, atau memberi susu. Tapi kamu punya kesetiaan. Dengan kesetiaan itu, kamu akan selalu menyambut kedatangan sang tuan dan bermain bersamanya.”

Malam hari ketika pemilik ladang baru pulang dan tampak lelah karena perjalanan jauh, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya, dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, sang pemilik ladang memeluk dia erat-erat dan bermain dengannya. Lalu pemilik ladang tersebut berkata, “Kamu adalah binatang peliharaanku yang paling berharga. Karena setiap kali aku pulang, kamu selalu menunggu di depan pintu rumah untuk menyambutku.” Oleh karena kesetiaan anjing kecil, maka ia sekarang menjadi binatang peliharaan yang paling berharga bagi si pemilik ladang.

Tubuh Khotbah

Cerita tadi menghantar kita untuk merenungkan soal kesetiaan. Dalam hubungan antara kita dengan Tuhan, kesetiaan mengambil peranan yang maha penting. Kesetiaan adalah satu sikap yang tak dapat ditawar-tawar ketika kita berhubungan dengan Tuhan.

Hari ini kita melihat ada seorang tokoh yang bernama Demas. Rupanya ia memiliki masalah dengan kesetiaan. Siapakah Demas? Dibandingkan nama Musa, Elia, Petrus atau Paulus, Demas adalah nama yang jarang didengar dan dibicarakan. Tentu hal ini sangat wajar karena dalam Alkitab nama Demas hanya disebutkan 3 kali saja. Kitab Kolose, 2 Timotius, dan Filemon yang mencatat nama Demas; dan itupun hanya satu dua kalimat saja. Contohnya, Kolose 4: 14 yang hanya mencatat: “Salam kepadamu dari tabib Lukas yang kekasih dan dari Demas.” Filemon 23-24 hanya mencatat: “Salam kepadamu dari Epafras . . . dan dari Markus, Aristarkhus, Demas, dan Lukas, teman-teman sekerjaku.” Sedangkan 2 Timotius 4: 10 tiba-tiba sudah memberikan informasi bahwa Demas sudah tidak setia lagi. Itu saja. Informasi detail tentang siapa Demas sungguh sangat minim.

Namun dari ketiga kitab itu, kita masih dapat menemukan beberapa fakta penting yaitu: Fakta pertama, Demas adalah seorang pelayan Tuhan. Ia pernah dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil dan membangun jemaat Tuhan bersama dengan Paulus. Fakta kedua, Demas adalah seorang yang terkenal di kalangan jemaat waktu itu. Setiap kali rasul Paulus menuliskan nama Demas, ia tidak memberi keterangan apapun tentang Demas. Rupanya Paulus yakin bahwa para jemaat telah mengenal nama Demas, sehingga ia tidak perlu menjelaskan identitas Demas. Jadi, Demas adalah orang yang terkenal. Fakta ketiga, Demas adalah seorang yang terpandang. Kenapa saya katakan demikian? Karena Paulus mengingat dan menulis nama Demas dalam suratnya. Setidaknya, ia adalah orang yang terpandang di mata rasul Paulus sendiri.

Mengetahui ketiga fakta ini, maka kita yakin bahwa Demas adalah seorang pengikut Kristus yang aktif, hebat, dan menakjubkan pelayanannya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apa yang terjadi pada orang ini? Tak diduga sama sekali, Demas ternyata jatuh dalam masalah ketidaksetiaan.

Teks 2 Timotius 4: 10 menjelaskan ketidaksetiaan Demas dengan sangat jelas, jauh lebih jelas daripada informasi tentang identitas Demas. Sangat jelas dan sangat tajam. Kata pertama yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaannya adalah: “mencintai dunia ini”. Dalam bahasa aslinya, kata “mencintai” menggunakan kata “agapao”. Kata ini dipakai untuk menggambarkan sebuah cinta yang sangat dalam, cinta yang tak terukur panjangnya, dan biasanya kata ini dipakai untuk menggambarkan cinta Tuhan pada manusia. Ketika Yohanes 3:16 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini . . .”, kata “kasih” di sana menggunakan “agapao”. Sebuah cinta yang sangat dalam. Inilah tingkat kedalaman cinta Demas pada dunia, yang sekaligus menjelaskan seberapa jauhnya ia telah meninggalkan Tuhan.

Kata kedua yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “dunia ini”. Dalam bahasa aslinya, kata ini seharusnya diterjemahkan menjadi, “dunia yang sekarang ini.” Ada keterangan waktu “sekarang” dalam kata itu. Keterangan waktu ini sangat penting. Kenapa penting? Karena, kita makin mengerti tentang orientasi atau tujuan hidup Demas. Ia memusatkan hidupnya pada kehidupan masa sekarang. Kehidupan yang sementara, kehidupan yang fana, kehidupan yang sia-sia. Tapi anehnya, kehidupan seperti inilah yang justru dicintai Demas.

Kata ketiga yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “meninggalkan aku”. Dalam bahasa aslinya, kata “meninggalkan” sering dipakai untuk menggambarkan seorang prajurit yang lari mendadak dari tugas kemiliterannya. Bayangkan, bila seorang prajurit yang seharusnya berani mati demi sebuah tugas yang mulia, lalu ia kabur mendadak. Prajurit seperti apa itu? Tapi inilah yang dilakukan Demas. Ia lari mendadak dari tugas pelayanannya.

Mengapa ia meninggalkan pelayanannya? Bisa jadi karena ia memang terlena dengan kenikmatan dunia. Tapi bisa juga karena ia takut dengan penderitaan. Seperti kita ketahui, Demas adalah rekan kerjanya Paulus yang seringkali mengalami siksaan, penghinaan, ancaman, kemiskinan, dan hal-hal lain yang tidak disukai semua orang. Melihat hal itu semua, Demas mungkin baru menyadari bahwa pelayanan yang sejati selalu mengandung risiko. Dan akhirnya, Demas memilih untuk meninggalkan pelayanan daripada menghadapi risiko-risiko tadi.

Kata keempat yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “Tesalonika”. Kalimat lengkapnya adalah, “Ia telah berangkat ke Tesalonika.” Mengapa Paulus menyebutkan bahwa Demas pergi ke Tesalonika? Apakah tidak cukup menggambarkan ketidaksetiaan Demas dengan mengatakan, “Ia telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku?” Ternyata kota Tesalonika turut memberikan arti berikutnya. Dilihat dari sudut geografis, kota Tesalonika merupakan kota perdagangan terbesar di Eropa tenggara. Sebuah kota yang makmur. Sebuah kota yang menawarkan pekerjaan dan kekayaan yang tinggi. Sebuah kota yang merayu banyak orang untuk datang ke kotanya untuk berdagang. Di kota inilah, Demas tergoda hingga ia tidak lagi setia kepada Tuhan yang sudah menebus dirinya.

Demikianlah keempat kata yang sangat jelas dan sangat tajam yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas.

Penerapan

Peristiwa yang dialami Demas membuat saya khawatir dengan diri saya sendiri. Khawatir apakah saya dapat setia mengikut Tuhan selamanya. Apakah Anda juga mengkhawatirkan hal yang sama dengan saya? Kekhawatiran ini tentu membuat saya bertanya, bagaimana caranya agar kita tetap setia mengikut Tuhan. Setelah merenungkannya, saya ingin membagikan dua hal yang membuat orang setia mengikut Tuhan:

1. Memusatkan diri pada dunia yang akan datang (sorga)

Perhatikan kegagalan Demas. Ia mencintai dunia yang sekarang ini, bukan dunia yang akan datang. Ia memusatkan diri pada dunia yang sekarang ini, bukan dunia yang akan datang. Ia memfokuskan hidupnya pada kenikmatan yang palsu yang ditawarkan oleh dunia yang kita tinggali saat ini. Ia terjebak di dalamnya.

Ada sebuah perumpamaan yang indah tentang hal ini. Satu ketika ada seekor burung yang sedang terbang balik ke Eropa Utara. Tapi dalam perjalanan terbangnya, ia melihat ke bawah dan melihat sebuah ladang yang bagus. Ia turun ke ladang itu sambil berkata, “Nah ladang ini sangat bagus. Setiap hari tuan ladang akan memberi aku jagung untuk dimakan dan air segar. Sangat menyenangkan.”

Sehari demi sehari ia tinggal di ladang yang gratis itu. Makan enak, tidur enak. Tak terasa burung ini sudah tinggal seminggu di ladang. Karena sudah tinggal seminggu, tentu tidak masalah untuk tinggal sebulan. Tanpa disadari musim pun berganti. Tiba-tiba kelihatanlah sekawanan keluarganya yang sedang terbang. Lalu burung ini berkata, “Aku mesti ikut mereka.” Ia pun mulai mengepak-ngepakkan sayapnya, tapi malangnya ia hanya dapat terbang sampai ke atas atap rumah sang tuan ladang.

Lalu ia berkata, “Ah baiklah, lebih baik aku tinggal di sini lagi.” Burung ini pun tinggal di ladang tadi dengan waktu yang semakin lama. Musim kembali berganti. Dan ia pun kembali melihat sekawanan keluarganya sedang terbang. Ia ingin mengikuti mereka. Tapi kini ia hanya dapat mengepak-ngepakkan sayapnya; ia sudah tidak dapat terbang lagi. Musim berganti musim dan tahun berganti tahun. Ia tidak pernah kembali Eropa Utara untuk selamanya karena ia mati di ladang itu.

Perumpamaan ini sangat tepat dikenakan untuk Demas. Ia bagaikan seekor burung yang seharusnya terbang ke arah dunia yang akan datang, namun malangnya ia terbujuk dan terjebak oleh indahnya tawaran dunia yang sekarang ini. Apa yang dialami Demas bukannya tidak mungkin dialami oleh kita. Berapa banyak orang Kristen yang percaya akan dunia yang akan datang? Tapi berapa banyak orang yang memusatkan hidupnya pada dunia yang akan datang? Mungkin sebagian kita ada yang meremehkan soal ini. Alasannya karena sorga itu tidak untuk kehidupan sekarang, tapi nanti sesudah mati. Namanya saja dunia yang akan datang, jadi itu nanti saja. Urusan sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Nanti kalau sudah tua atau mendekati kematian, maka mari kita membicarakan soal dunia yang akan datang. Maka itu tidak heran bila topik mengenai sorga paling laku di panti jompo, rumah sakit, dan rumah duka.

Inilah sebuah pemikiran yang salah besar. Kualitas hidup yang kita jalani sekarang ini justru ditentukan dari seberapa besar kita telah memusatkan diri pada dunia yang akan datang. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka hari ini kita hidup dengan hati-hati. Kenapa? Karena kita tahu bahwa kita akan mempertanggungjawabkan semua yang kita lakukan nanti. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka hari ini kita tidak tergila-gila dan menjadi gila dengan kekayaan, rumah mewah, mobil mewah, warisan, dan segala kesenangan duniawi. Kenapa? Karena kita tahu bahwa itu semua adalah titipan Tuhan yang harus dikelola dan dipertanggungjawabkan di dunia yang akan datang. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka kita pun tidak mudah goyah imannya di kala tubuh dihancurkan oleh sakit penyakit atau penganiayaan. Kenapa? Karena kita tahu bahwa penderitaan sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan kita terima di dunia yang akan datang.

Seorang penulis Kristen zaman dulu yang bernama Basil pernah menceritakan tentang bagaimana para martir berjuang untuk tetap setia. Satu ketika mereka dilempar keluar dalam keadaan telanjang di tengah malam musim dingin yang kemudian esok siangnya dibakar. Apa yang mereka lakukan? Mereka saling menghibur dan menguatkan dengan perkataan-perkataan demikian: “Dingin memang menyakitkan, namun sorga itu indah; kesusahan adalah cara hidup bagi Kristus, namun kesenangan yang sesungguhnya akan menjadi akhir perjalanan kita; marilah kita bertahan menahan dingin yang tidak seberapa ini, dan pangkuan Abraham akan segera menghangatkan kita; biarkan kaki kita terbakar sebentar oleh nyala api para penyembah berhala agar kita dapat menari-nari untuk selamanya bersama dengan para malaikat; biarkan tangan kita masuk ke dalam nyala api, agar tangan kita dapat menerima kehidupan abadi.” Ini sebuah contoh nyata tentang hidup yang berpusat pada dunia yang akan datang.

Jangan pernah kita remehkan soal ini. Memusatkan diri pada dunia yang akan datang justru bagaikan telaga yang menyejukkan dan memelihara kesetiaan kita pada Tuhan di kala suka maupun duka.

2. Menyandarkan diri pada pertolongan Tuhan

Perhatikan kehidupan Demas. Dulu ia adalah seorang pelayan yang aktif, terkenal, terpandang, rekan kerja seorang rasul yang hebat, tapi sekarang ia meninggalkan pelayanannya dan mencari kekayaan. Siapa yang pernah menduga? Itulah manusia. Hari ini ia bisa sangat baik, tapi esok belum tentu. Hari ini ia bisa mengalami kejayaan, tapi esok ia bisa mengalami kejatuhan. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya. Ia sendiri pun tidak dapat memastikan kondisi dirinya di masa mendatang.

Tidak hanya tokoh Alkitab saja, tokoh-tokoh dunia Kristen lain pun ada yang mengalami kejatuhan dosa yang pasti tidak pernah diduga-duga oleh orang lain, bahkan termasuk dirinya. Jimmy Swagart adalah salah satunya. Dengan modal karunia berkhotbah yang luar biasa, namanya menjadi terkenal di gerejanya, bahkan di Amerika Serikat. Ia sering berkhotbah di siaran-siaran televisi. Banyak orang senang dan takjub mendengarkan khotbahnya. Tapi siapa yang pernah menduga bila ia jatuh dalam dosa perzinahan dengan seorang wanita tuna susila?

Jarak antara kejayaan dan kejatuhan itu sangatlah tipis. Hari ini kerohanian kita berjaya, besok belum tentu. Sama halnya dengan kesetiaan. Hari ini setia, esok belum tentu. Kita hanya bisa berjuang, tapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kesetiaan kita di masa mendatang, termasuk diri kita. Terlalu sombong bila kita berkata bahwa saya sulit jatuh dalam dosa. Terlalu sombong bila kita berkata saya pasti akan setia mengikut Tuhan. Belajarlah dari kegagalan Petrus. Sewaktu Yesus memberitakan kematian-Nya, Petrus berkata dengan sombongnya, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau! (Luk. 22: 33) Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yoh. 13: 37b) Perkataan yang hebat kedengarannya. Tapi kenyataannya, Petrus justru mengkhianati Yesus.

Ada begitu banyak godaan yang dapat menjegal kesetiaan kita. Kita sendirilah yang mengerti jenis godaan seperti apa yang seringkali menjatuhkan kita. Ada orang yang mudah tergoda dengan wanita dan seks, ada yang mudah tergoda dengan uang, ada yang tergoda dengan kekuasaan, ada yang tergoda dengan pujian orang, atau ada yang tergoda dengan bermain judi, dan seterusnya. Kita semua pasti memiliki titik-titik rawan yang menggoda kita untuk tidak setia terhadap Tuhan. Seberapa pun usia kita dan serohani apapun diri kita, kita tetap tidak kebal terhadap godaan dosa.

Tatkala kita berani mengakui bahwa kita tidak sekuat yang kita bayangkan, maka kita perlu benar-benar bersujud pada Tuhan dan mencari pertolongan-Nya. Bila hari ini kita masih setia mengikut Tuhan, itu bukan karena kekuatan atau kehebatan kita, tapi karena Tuhan masih berkenan menopang dan menolong kita. Jangan ada seorang pun yang memegahkan diri. Kita benar-benar perlu bersandar pada pertolongan Tuhan untuk menjaga dan melestarikan kesetiaan kita. Kita harus senantiasa mengatakan, “Ya Tuhan tiap jam, ku memerlukan-Mu. Engkaulah yang memb’ri sejahtera penuh. Reff: Setiap jam ya Tuhan, Dikau kuperlukan. Ku datang Jurus’lamat, berkatilah.”

Penutup

Yang terpenting dalam hidup kristiani adalah bukan pada bagaimana kita mengawalinya, melainkan bagaimana kita mengakhirinya. Apakah kita akan mengakhiri hidup ini dengan tetap setia pada Tuhan? Tuhan berfirman, “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Why. 2: 10c). Semoga kita setia terus dan terus setia!

1 comment:

Anonymous said...

d6k92g9o81 j1o83m7r39 u4t38k1l23 m3u38y0c78 m8u21m7e40 f2s38n8h00