Wednesday, September 24, 2008

BANYAK TAPI TAK BERNILAI


Markus 12: 41-44

Bila kita membaca selipan satu lembar laporan keuangan di dalam warta gereja, maka apa yang kita perhatikan? Selain melihat nama/kode persembahan kita sudah tercatat atau belum, kita kadang tergoda untuk melihat nama/kode persembahan yang jumlahnya besar. Setelah mata kita menyisir jumlah persembahan uang yang dicatat, entah mengapa mata kita terhenti pada jumlah persembahan uang yang besar, apalagi sangat besar. Tentu ada banyak alasan kenapa mata kita cenderung melihat jumlah uang yang besar.

Berbicara soal persembahan, saya teringat dengan kisah seorang janda miskin yang dicatat dalam Markus 12: 41-44 dan Lukas 21: 1-4. Perikopnya pendek, sederhana, tapi menyentuh hati. Situasinya waktu itu adalah Yesus mengajar di bait Allah. Ada dua tokoh penting yang sedang dibandingkan Yesus dalam pengajaran-Nya, yaitu orang kaya dan orang janda yang miskin. Baik orang kaya maupun janda miskin itu sama-sama memberikan persembahan. Dengan perantaraan seorang imam yang berjaga, orang dapat memberi persembahannya untuk kebutuhan rumah ibadah. Di waktu inilah orang-orang kaya biasanya suka menyebutkan dengan suara nyaring jumlah persembahan besar yang mereka berikan. Mereka membanggakan jumlahnya di depan orang banyak.

Kepada orang-orang itulah, Yesus mengomentari bahwa mereka semua [orang-orang kaya] memberi dari kelimpahannya (ay. 44). Apa artinya? Ini berarti orang kaya itu memberi persembahan setelah menghitung-hitung kelebihannya. Ia telah makan dan minum selezat-lezatnya, lalu kelebihannya itu dipersembahkan pada Tuhan. Mungkin hal ini dapat diandaikan sebagai berikut: Bayangkan, kita memiliki penghasilan bersih sebesar Rp. 100 juta/bulan. Kita tahu bahwa penghasilan seperti itu sudah sangat berkelimpahan. Kita sudah bisa pergi makan di restauran terkenal, membeli telpon genggam yang terbaru setiap hari, membeli baju setiap hari, dan membeli barang-barang mahal lainnya. Lalu di hari Minggu kita memberikan persembahan sebesar Rp. 500.000/ minggu. Nah kira-kira demikianlah yang dilakukan oleh orang kaya itu. Ia memang memberikan persembahan Rp. 500.000 dari sekian puluh juta yang ia miliki. Inilah yang disebut dengan memberi persembahan dari kelimpahannya.

Lalu kisah ini dilanjutkan dengan datangnya seorang janda miskin. Dalam bahasa Yunani, ada dua kata yang digunakan untuk mengambarkan kemiskinan. Kata pertama adalah “penes” yang menggambarkan keadaan miskin secara umum. Contohnya, ketika kita melihat orang-orang yang antri untuk mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) pemerintah, maka kita mengatakan, “Yang berhak masuk dalam antrian itu adalah orang-orang miskin.” Kita tidak mengerti seberapa miskinnya mereka, tapi kita menyebut “miskin” secara umum saja.

Kata kedua adalah “ptokos” yang menggambarkan keadaan seseorang yang benar-benar miskin sehingga benar-benar bergantung dari belas kasihan orang. Pada zaman Yesus, “ptokos” lebih banyak digunakan untuk menunjuk para pengemis dan orang-orang cacat. Nah di dalam kisah janda miskin tadi, Alkitab menggunakan kata “ptokos” yang artinya janda ini benar-benar miskin dan sangat bergantung dari pemberian orang lain. Dicatat dalam Alkitab bahwa wanita janda miskin itu lalu memberikan persembahan dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu dua peser. Peser memang merupakan mata uang terkecil bagi orang Yahudi. Kalau dalam satuan sen yang kita kenal, maka sepeser berarti setengah sen. Sebab itu, tidak heran bila dalam bahasa Yunani, peser seringkali diartikan sebagai si kurus. Dari informasi itu, kita sekarang melihat betapa kecilnya jumlah uang yang dipersembahkan oleh si janda miskin. Perbandingan jumlah persembahan antara orang kaya dan si janda miskin ini bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali.

Tapi tunggu! Jumlah uang dua peser memang kecil, namun nilai bagi janda miskin sangatlah berharga. Seakan-akan seharga satu hari kehidupannya. Betapa tidak, dengan dua peser ia sebenarnya dapat membeli makanan untuk sehari, dan jangan lupa, dua peser adalah keseluruhan uang yang ia miliki. Itulah sebabnya Yesus mengatakan bahwa janda ini memberi semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya (lih. ay. 44).

Secara jumlah, persembahan janda miskin memang bagaikan bumi dan langit bila dibanding dengan orang kaya; namun secara nilai, persembahan janda miskin ini adalah persembahan yang paling berkenan di hadapan Tuhan. Sebab itu, Yesus mengatakan, “. . . sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan (ay. 43).

Bagaimana nilai persembahan kita di mata Tuhan? Persembahan di sini tidak selalu bicara soal persembahan uang, tapi bisa juga soal pelayanan. Dan untuk kali ini, kita akan membicarakan lebih banyak soal pelayanan. Terdapat setidaknya satu pelajaran berharga dari kisah tadi. Pelajaran itu mengatakan bahwa melayani Tuhan sesungguhnya bukan terletak pada kegiatannya, tapi pada pengorbanannya. Ini satu hal yang perlu ditanamkan dalam diri kita setiap hari. Kita sering terjebak pada pemikiran bahwa saya melayani Tuhan ketika saya mengikuti kegiatan-kegiatan gereja. Kita merasa bahwa kita sudah melayani Tuhan bila kita sudah mengikuti kegiatan paduan suara, pembesukan, pemimpin ibadah, pemuji, pemusik, majelis, bahkan menjadi hamba Tuhan.

Pelayanan bukanlah soal tugas, kegiatan, atau aktifitas tertentu. Pelayanan itu adalah soal pengorbanan. Belum tentu seorang yang terlibat dalam segala kegiatan rohani berarti ia sudah melayani Tuhan. Dan belum tentu seorang yang menjadi hamba Tuhan berarti ia sudah melayani Tuhan. Jangan terjebak pada konsep yang salah soal pelayanan. Dunia ini memang seringkali mengajak kita untuk berkonsentrasi pada apa yang kelihatan. Yang penting adalah kemasannya, senyumannya, pakaiannya, penampilan wajah, tutur katanya yang lihai, mobilnya, dan seterusnya. Hal ini seringkali menjebak kita untuk memahami konsep pelayanan secara keliru; kita akhirnya menyibukkan diri pada apa yang kelihatan, misalnya pada jumlah kegiatan rohani yang kita ikuti.

Tatkala merenungkan kisah ini, saya lalu bertanya apakah hal-hal yang saya lakukan pada Tuhan selama ini sungguh bernilai di hadapan Tuhan. Atau jangan-jangan hanya jumlahnya saja yang besar dan banyak, tapi tak bernilai apapun bagaikan tong kosong nyaring bunyinya di hadapan Tuhan. Sebagai seorang hamba Tuhan, saya melakukan jumlah pelayanan yang banyak di mata jemaat. Mulai dari pelayanan khotbah, menulis, mengonseling, memimpin, dan seterusnya. Tapi saya gentar, apakah saya sama seperti orang-orang kaya dalam kisah tadi, yang jumlahnya banyak namun ternyata tidak bernilai bagi Tuhan?

Marilah kita mengintropeksi hal ini. Bila kita ingin apa yang dilakukan bernilai bagi Tuhan, maka kita perlu melihat dengan jujur ke dalam lorong-lorong hati kita. Bertanyalah dengan jujur, sudah berapa kali kita berkorban untuk Tuhan? Adalah jauh lebih baik kita terlibat dalam satu kegiatan rohani tapi kita benar-benar merasa berkorban untuk Tuhan di sana, daripada mengikuti banyak kegiatan rohani, kelihatan hebat di mata manusia, tapi sesungguhnya kita tidak mengorbankan apa-apa buat Tuhan. Dan hal seperti itulah yang tidak bernilai bagi Tuhan.

Kegiatan-kegiatan rohani yang ada sesungguhnya merupakan wadah untuk kita berkorban bagi Tuhan. Dalam kegiatan itulah, kita mempersembahkan talenta, pikiran, tenaga, waktu, uang, dan sebagainya untuk Tuhan. Apapun yang kita dapat lakukan, kita lakukan buat Tuhan dalam kegiatan tersebut. Inilah pengorbanan. Dan ketika kita sudah merasa mengorbankan apa yang kita punyai dalam kegiatan rohani tertentu, maka kita boleh berkata, “Saya sudah melayani Tuhan.”

Perhatikan dan camkan sekali lagi peringatan Yesus dalam Matius 7: 22, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga?” Perhatikan baik-baik, apa yang ditunjukkan mereka pada hari terakhir? Di hadapan Tuhan, mereka sibuk mendata kegiatan-kegiatan rohani yang pernah mereka lakukan. Secara manusia, orang-orang itu memang sangat hebat karena telah memberikan sumbangsih yang luar biasa banyaknya; tapi bagi Tuhan, bukan soal jumlah, tapi soal nilai. Orang-orang yang dikenal hebat dan banyak melakukan pelayanan itu ternyata ditolak Tuhan. Mereka melakukan banyak hal tapi itu tak bernilai. “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!” (Mat. 7: 23) Semoga apa yang kita lakukan buat Tuhan bernilai di hadapan-Nya.