Wednesday, July 23, 2008

SIAP SEBELUM BERANGKAT

"Emak kok tangannya seperti kulit jeruk?" tanya Jason, cucu kesayangannya.

"Iya, kan emak sudah tua."

"Jason juga bisa tua?"

"Iya, semua orang nanti tambah tua."

"Habis itu mati ya?" desak Jason.

(Rupanya dia teringat kakeknya yang sudah mati ketika dia berumur 2 tahunan.)

"Betul, nanti masuk surga, ketemu sama Tuhan Yesus."

Lalu menangislah Jason, "Emak gak boleh mati, Papah gak boleh mati, Mamah gak boleh mati, aku gak mau mati . . ."


Jason yang berumur 5 tahun itu mungkin tidak memahami arti kematian sedalam kita yang sudah dewasa, seperti gambaran Alkitab tentang surga, jaminan keselamatan di dalam Kristus, dsb. Namun saya kira Jason sudah menangkap arti kematian secara sederhana ketika dia ditinggal kakeknya sewaktu berumur 2 tahun, yang berarti keterpisahan. Mungkin selama usia 2 hingga 5 tahun ia menanti kakeknya, tapi kok tidak kunjung pulang ke rumah dan ia pun tidak pernah bertemu kakeknya di tempat-tempat lain. Saat itulah kemungkinan besar ia mengartikan kematian sebagai keterpisahan.


Bicara seputar kehidupan dan kematian, bukankah memang benar bahwa hidup itu merupakan sebuah proses keterikatan dan keterpisahan? Sejak bayi kita sudah mengalami hal ini. Pada waktu dalam kandungan, kita terikat oleh tali pusar yang memberi makanan dari sang ibu; namun setelah lahir, kita terpisah dari ikatan tali pusar tersebut. Pada waktunya seorang anak sekolah di Play Group, pengalaman keterikatan dan keterpisahan kembali terulang. Kalau dulu ia sering bermain dan berkumpul bersama dengan orangtua, sekarang waktunya sekolah, ada waktu di mana ia terpisah dari orangtua dan rumahnya. Sewaktu seorang anak menginjak usia remaja/pemuda, pengalaman itu muncul untuk kesekian kalinya. Kalau dulu ia sering di rumah, sekarang ia lebih sering di luar dan keluar rumah bersama teman-teman sebayanya. Demikian seterusnya terjadi, hingga kita mencapai satu tahap terakhir dalam dunia ini, yaitu keterpisahan untuk selama-lamanya. Inilah yang kita sebut sebagai kematian.

Mungkin tahap ini adalah tahap yang paling menyakitkan di antara seluruh tahap keterpisahan dalam dunia ini. Meski semua orang dewasa mengerti proses pengalaman keterikatan dan keterpisahan sebagai satu hal yang sangat wajar, namun toh tahap keterpisahan untuk selama-lamanya merupakan satu hal yang menyakitkan. Mungkin itulah sebabnya Jason, anak kecil tadi, mengatakan, "Emak gak boleh mati, Papah gak boleh mati, Mamah gak boleh mati, aku gak mau mati."

Apa saja yang terjadi ketika tahap ini kita alami? Ada aneka hal yang terjadi ketika tahap keterpisahan seperti ini dialami, misalnya:
  1. Tidak percaya. Sewaktu ayah saya baru saja meninggal, kami semua masih tidak percaya. Meski ia tidak meninggal secara mendadak, namun kami tetap merasa bahwa ayah belum meninggal. Ketika melihat jenazah ayah yang baru dimandikan, kami seakan-akan melihat dadanya yang masih bergerak (gerakan bernapas). Ketika pulang ke rumahnya dan melihat barang-barangnya (seperti jam tangan, baju, piyama, sepatu, jaket), kami masih belum percaya kalau ayah sudah tiada. Inilah perasaan yang kami alami, dan sangat mungkin sekali perasaan tidak percaya adalah perasaan yang pertama kalinya muncul ketika kita berpisah dengan orang yang kita kasihi untuk selamanya. Mungkin kita masih berpikir kalau dia pergi dan akan kembali ke rumah. Dia masih berada di suatu tempat, dan nanti dia pasti pulang. Dan seterusnya.
  2. Marah. Tidak jarang perasaan marah muncul dalam waktu-waktu berduka. Bila orang yang dikasihi itu sempat menjalani perawatan di rumah sakit hingga akhir hayatnya, maka mungkin sekali kita menyalahkan kinerja dokter atau suster. Kita marah dan menganggap mereka tidak cekatan, salah diagnosa, tidak perhatian, salah obat, dan seterusnya. Atau, perasaan marah juga kadang ditujukan pada anggota keluarga atau orang yang menjaganya (suster rumah). Kita mungkin marah dan menyalahkan atas perbuatan orang itu yang dipandang sebagai penyebab utama kematiannya. Atau, tidak jarang pula, saya melihat perasaan marah yang ditujukan kepada Tuhan. "Mengapa Engkau ambil dia sekarang? Tuhan jahat!" itulah salah satu cetusan kemarahan kepada Tuhan.
  3. Rasa bersalah. Tidak sedikit orang berduka memiliki rasa bersalah. Seorang klien pernah datang untuk menceritakan rasa bersalah terhadap orangtuanya yang sudah meninggal sekian tahun. Ia merasa bersalah karena ia menganggap dirinya gagal untuk menyenangkan hati orangtua. Ia pernah berbuat dan berkata kasar sewaktu orangtuanya hidup. Dan sekarang, meski sudah ditinggal sekian tahun, rasa bersalah itu tetaplah subur. Ada orang lain lagi yang merasa bersalah karena ia terlambat datang pada saat-saat terakhir kematiannya. Ada orang lain lagi yang merasa bersalah karena ia merasa yang paling bertanggungjawab atas kematiannya. Dan sebagainya.
  4. Depresi. Ini juga merupakan salah satu reaksi perasaan terhadap kematian seseorang. Depresi biasanya ditandai dengan adanya gangguan pola makan, pola istirahat, merasa tidak ada harapan untuk masa depannya. Kadangkala depresi juga disertai dengan perasaan ingin melakukan bunuh diri. Inilah perasaan yang mungkin sekali muncul sewaktu kedukaan.
Namun di samping memahami apa yang terjadi pada seseorang yang berada pada tahap keterpisahan selamanya, kita perlu memikirkan satu hal, yaitu bahwa satu ketika kita sendiri pun akan berpisah dengan anggota keluarga dan rekan-rekan kita. Dengan kata lain, kali ini bukan kita yang berduka, namun orang-orang di sekitar kitalah yang berduka karena kitanya yang meninggalkan mereka untuk selamanya. Sebab itu, kita perlu merenung, apakah kita sudah siap "berangkat"? Seberapa jauh kita siap "berangkat"? Sudahkah kita mempersiapkan diri kita dan diri orang lain?

Untuk persiapan kita pribadi, apakah kita sudah menabung nilai-nilai kekal di dunia ini? Apa saja yang sudah kita lakukan bagi orang lain? Apakah kita sudah menunjukkan rasa sayang pada pasangan hidup dan anak-anak serta orangtua kita? Untuk persiapan anggota keluarga, apakah pasangan kita pernah diajak bicara soal persiapan kematian kita? Misalnya, menyepakati tempat di mana kita ingin dikubur/diperabukan, menyiapkan kondisi finansial nantinya, mengenalkan anggota keluarga pada orang lain sebanyak mungkin agar mereka tetap dapat hidup sewajarnya, dan seterusnya. Atau, bisa saja kita membicarakan aneka perasaan yang dapat terjadi ketika kita meninggal sebagai sebuah antisipasi. Tentu hal-hal seperti ini tidak perlu dibicarakan setiap kali bertemu dengan anggota keluarga. Namun ada baiknya bila kita mengambil suatu waktu yang baik untuk membicarakan soal kematian, mengingat kematian itu tidak pernah dapat "dipesan" terlebih dahulu. Semoga kita siap selalu sebelum "berangkat". Tuhan memberkati.

No comments: