Thursday, May 15, 2008

SIAPAKAH KLIEN ITU?

Bagi kita yang melayani konseling, baik sebagai konselor profesional atau non profesional, pernahkah kita bertanya, "Siapakah klien itu?" Tentu kita bisa menyetujui bahwa cara memandang kita terhadap klien akan memengaruhi dalam cara penanganannya. Bila klien dipandang sebagai orang keras kepala, maka kita mungkin akan menanganinya dengan tidak sabar. Selain itu, kita pun akan merasa frustrasi dan putus asa dalam menanganinya. Bila klien dipandang sebagai pembuat masalah (trouble maker), maka kita mungkin akan menanganinya dengan rasa pesimis dan skeptis. Kita menganggap bahwa klien itulah yang selalu membuat masalah pada orang lain.

Lalu bagaimana kita memandang klien secara tepat? Melalui perenungan dari buku Anthony Yeo, Counselling: A Problem-Solving Approach (bab 2), saya menyarikan beberapa tips penting tentang cara memandang klien. Pertama dan yang terutama, pandanglah klien sebagai person in need (PIN). Seringkali, klien dipandang sebagai orang yang bermasalah atau pribadi yang bermasalah (personality problem). Pandangan ini seringkali justru membuat klien merasa frustrasi, pesimis, membenci dirinya sendiri, dan tidak lagi mempercayai pada perubahan dirinya. Sebaliknya, bila kita memandang klien sebagai pribadi yang membutuhkan sesuatu, maka cara kita menanganinya akan menjadi lebih baik dan lebih berpengharapan. Kebutuhan klien tentunya sangat bermacam-macam: ada yang membutuhkan telinga untuk mendengar, ada yang membutuhkan nasihat praktis, ada yang membutuhkan teman diskusi untuk mematangkan pertimbangannya, ada yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi konflik pernikahannya, dan seterusnya. Sebab itu, marilah kita mengubah kata-kata: "Anak itu bermasalah, orang tua itu bermasalah, dia itu si pembuat masalah, dan seterusnya" menjadi "Orang itu sedang membutuhkan sesuatu." Atau ketika kita bertemu orang yang sedang berada dalam masalah, maka kita berlatih untuk bertanya secara pribadi, "Apakah yang dia butuhkan?"

Kedua, pribadi yang dinamis. Manusia itu dinamis. Itulah sebabnya ilmu sosial sebagai ilmu yang mempelajari manusia juga sangat cepat perkembangannya. Dalam konseling, memandang manusia sebagai makhluk yang dinamis akan sangat membantu kita dalam menolong klien. Klien tidak ditentukan oleh masa lalunya, peristiwa tertentu, pengalaman masa kecil, lingkungan, dan seterusnya. Ia bukanlah pribadi yang statis dalam kehidupan ini. Ia dapat berubah. Bila kita mempercayai hal ini, maka optimisme dengan sendirinya akan timbul. Dan bila sikap optimisme ini terpancar dari sikap kita, maka klien pun akan lebih mudah tertolong dari masalahnya.

Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun pernah menceritakan masalah yang berkaitan dengan relasinya dengan orang lain. Secara fenomena, banyak orang seringkali melihat dia menyendiri di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Beberapa orang menganggap dia sebagai orang yang aneh baik secara pemikiran maupun perbuatannya. Sebagian orang yang lain tidak mau mendekatinya. Apakah dia menyadari hal itu? Dia sangat menyadari hal itu. Dia tahu bahwa banyak orang seringkali menganggap dirinya aneh.

Dalam perbincangan saya dengannya, sebenarnya dia sangat ingin berubah. Dia ingin dipandang sebagai orang yang normal. Berangkat dari keinginannya untuk berubah, maka saya pun mengajaknya untuk mengikuti konseling secara teratur. Tak disangka, ia menolak. Apa dasarnya? Ia sudah tidak percaya lagi kalau dirinya masih bisa berubah. Pandangan yang ia pegang itu muncul sejak seorang pembicara retret berkata padanya, "Anda sudah terlambat [untuk berubah]." Kala itu ia berusia sekitar 15 tahun. Tapi kata-kata itu diingatnya sampai sekarang. Ia berkata, "Rasanya kata-kata itu baru saja diucapkan kemarin." Andai pembicara retret itu mempercayai bahwa manusia itu dinamis, maka kemungkinan besar ia tidak mengatakan "sudah terlambat."

Ketiga, pribadi yang unik. Pandangan ini mengajak kita untuk melihat klien sebagai seorang individu yang unik dan berbeda dengan individu yang lainnya. Sehingga, kita berkata, "Saya akan membantumu dengan cara yang paling tepat dan spesial untukmu." Sebagai seorang konselor, kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menjadi kreatif dalam menolongnya. Sepengalaman saya, saya menemukan keunikan klien dalam menggambarkan masalahnya. Ada klien yang mengungkapkan perasaan melalui gambar, warna, tulisan, dan seterusnya. Berikutnya, dalam hal menyelesaikan kepahitan dengan seseorang, antara klien satu dengan lainnya juga memiliki caranya yang unik. Ada yang memerlukan figur lain sebagai pengganti peran orang yang dibencinya, ada yang menuliskan surat, ada yang perlu menjerit. Selain itu, soal waktu, setiap klien juga memiliki waktu yang unik untuk menyelesaikan kepahitannya. Ada yang perlu beberapa hari, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun untuk menyelesaikannya.

Keempat, pribadi yang bertanggungjawab. Memandang klien sebagai seorang yang bertanggungjawab berarti: (1) Kita meyakini bahwa ia memiliki kontrol atas hidupnya. Kita perlu membantunya untuk mengeluarkan dirinya dari sikap fatalistik. Contohnya, bila klien sedang menghadapi penyakit terminal dan ia merasa dirinya tidak berguna, maka kita perlu mengajaknya untuk memotret hal-hal berguna yang pernah dan bisa ia lakukan dalam sisa hidupnya. (2) Klien memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Seorang konselor tidak berhak untuk memilihkan hal yang menurut kita baik, apalagi mendesaknya. Hal ini bukan berarti seorang konselor tidak boleh memberikan usulan sama sekali; konselor boleh saja memberikan usulan, namun usulan itu harus bersifat tentatif dan terbuka untuk ditolak oleh klien. (3) Klien perlu mengembangkan kekuatannya (resources) untuk mengatasi masalah hidupnya. Di tengah-tengah masalahnya, kita meyakini bahwa klien masih dapat melakukan sesuatu meski terkadang hal itu tidak menyelesaikan masalahnya secara langsung. Misalnya, seorang klien pernah menceritakan kondisi penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan lagi. Dari beberapa dokter, ia sudah mengetahui bahwa kondisi penyakitnya lambat laun akan mengganggu fungsi organ tubuh yang lain hingga ia akan meninggal karena malfungsi tersebut. Apa yang dapat ia lakukan sekarang? Ia sudah berusaha mengobatinya dengan berbagai terapi, tapi toh tidak kunjung membaik. Saat ini ia sudah mulai belajar menerima kenyataan itu. Dan yang lebih menggembirakan adalah ia saat ini sedang mengaktualisasikan karunianya yang selama ini terpendam. Ia melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan orang lain. Apa yang dilakukannya memang tidak menyembuhkan masalah penyakitnya secara langsung, namun ia telah berhasil mengembangkan resources-nya. Hal seperti demikianlah yang perlu diperhatikan oleh konselor.

No comments: