Wednesday, January 02, 2008

KESERAKAHAN: VIRUS YANG MEMANGSA DIRI SENDIRI

Efesus 5: 3

Tetapi . . . keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus

Willi Hoffsuemmer pernah menulis kisah tentang Smith dan guru kepala yang sedang berdiri dekat gelanggang anak-anak, tempat anak-anak bersukaria sepuasnya. Smith bertanya kepada guru kepala, “Mengapa terjadi bahwa setiap orang ingin bahagia, namun sangat sedikit yang mengalaminya?” Sang guru kepala memandang ke arah gelanggang anak-anak, lantas menjawab, “Anak-anak itu tampak sungguh bahagia.”

Dengan agak keheranan, Smith berkata, “Sudah tentu mereka bahagia karena satu-satunya yang mereka lakukan adalah bermain.” “Kamu benar,” ucap sang guru, “tetapi apa yang sesungguhnya menghalangi kaum dewasa berbahagia seperti itu juga dapat menghalangi anak-anak berbahagia.”

Sang guru merogoh saku celananya, mengambil segenggam kepingan uang logam, lantas menghamburkannya di tengah-tengah anak-anak yang sedang bermain. Spontan saja semua sorak gembira terhenti. Anak-anak saling menindih dan berkelahi untuk merebut kepingan uang tersebut.

Kemudian, guru kepala berkata kepada Smith, “Menurut kamu, hal apa yang menyebabkan mereka mengakhiri kebahagiaan mereka?” Smith menjawab, “Perkelahian!” Lanjut si guru, “Ya, tapi apa yang memicu dan memacu perkelahian itu?” Agak tersipu-sipu dan ragu, Smith menjawab, “Keserakahan.” Guru itu menjawab, “Bagus, kamu telah menemukan jawaban sendiri.” (Diadaptasi dari Simon Filantropha, “Monster yang Memangsa Diri Sendiri,” Jawa Pos, Rabu, 2 Januari 2008).

Kita hidup dalam lingkungan yang serakah. Keserakahan itu ada di mana-mana. Ia bagaikan virus yang menyebar di mana-mana dan ke mana-mana. Mengapa orang menjarah kepunyaan orang yang lain? Salah satunya pasti karena ada keserakahan dalam hati. Mengapa orang menipu untuk mengambil uang orang lain? Salah satunya adalah karena keserakahan. Mengapa hubungan persaudaraan bisa runtuh ketika menyentuh soal warisan? Salah satunya pasti karena keserakahan.

Satu ketika saya dan istri mengajak anak untuk bermain di Solo Square Mall. Di sana ada satu tempat bermain di mana kami harus membayar Rp. 10.000 agar anak kami bisa bermain bebas sekian lamanya. Ada beberapa macam permainan di sana. Ketika anak saya bermain-main, ada satu hal yang menarik perhatian saya: Ada anak lain yang suka merebut mainan anak saya. Setiap kali anak saya memainkan permainan tertentu, dia ikut dan menyerobot permainan anak saya. Hal itu berlangsung beberapa lama, sampai anak itu pergi dengan sendirinya. Dan yang lebih mengejutkan adalah, ternyata anak saya pun juga berperilaku demikian. Ia pun juga beberapa kali berusaha merebut permainan anak yang lain. Hmmm . . . rupanya bukan saja orang dewasa, anak-anak pun juga bisa serakah.

Sungguh, keserakahan itu ada di mana-mana. Kita yang sudah percaya pun juga tidak kebal terhadap virus yang satu ini. Sebab itu, firman Tuhan masih mengingatkan kita agar kita waspada terhadap keserakahan. Efesus 5: 3, misalnya, mengingatkan kita, “Tetapi . . . keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu . . . .” Perhatikan standar yang diberikan firman Allah pada kita: “Disebut sajapun jangan di antara kamu.” Apa artinya? Artinya, jangan sampai orang-orang di sekitar kita menyebut kita adalah orang yang serakah. Itu berarti segala tindakan dan perkataan kita harus berada sejauh mungkin dari keserakahan agar orang lain tidak menyebut kita serakah. Kita harus steril dan mensterilkan diri dari virus keserakahan baik di tempat kerja, di tempat belajar, di tempat tinggal, di tempat ibadah, dan di mana pun kita berada.

Selain itu, kita juga perlu mengingat segala dampak buruk yang dirampas oleh keserakahan. Memang serakah itu nikmat pada awalnya. Kelihatannya ia memberikan kebahagiaan. Tapi sesungguhnya kebahagiaan dan kenikmatannya itu hanya tipuan. Ia justru merampas dan menghancurkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dampak buruk apa saja yang dihancurkan oleh keserakahan? Pertama, dampak vertikal (dampak ke atas). Artinya adalah keserakahan akan menghancurkan hubungan kita dengan Tuhan. Kerohanian kita akan dirusak olehnya. Kenapa bisa demikian? Orang yang serakah adalah orang yang tidak pernah puas dengan berkat Tuhan. Ia selalu melirik berkat orang lain. Ketika kita tidak memiliki sepeda motor, kita doa agar Tuhan memberikan berkat sepeda motor. Lalu Tuhan kabulkan doa kita. Tapi setelah memilikinya, hati kita bertanya, “Mengapa si dia punya mobil dan aku tidak punya?” Kita kembali berdoa agar Tuhan memberikan berkat mobil. Lalu Tuhan memberikan mobil. Tapi setelah memiliki mobil, kita masih melirik berkatnya orang lain dan bertanya, “Mengapa si dia punya mobil baru, sedangkan saya punya mobil bekas?” Dan seterusnya. Apa yang kita lihat di sini? Segala pikiran, perasaan, tenaga, difokuskan hanya pada ketidakpuasan kita terhadap berkat Tuhan karena keserakahan kita sendiri. Nah akibatnya, fokus kita tidak lagi pada Tuhan. Hidup kita tidak lagi berpusat pada Tuhan, tetapi pada hal-hal yang tidak pernah memuaskan kita. Dan, ketika Tuhan tidak lagi menjadi pusat kehidupan kita, maka saat itulah kita telah mengundang kemarahan Tuhan. Jadi, keserakahan akan mengganggu hubungan vertikal, hubungan kita dengan Tuhan.

Kedua, dampak horizontal. Artinya, keserakahan akan menghancurkan hubungan kita dengan orang-orang lain. Dalam dunia usaha, kita sering mendengar pepatah, “Tidak ada teman sejati dalam bisnis. Hari ini dia teman, besok belum tentu.” Mengapa pepatah ini bisa muncul? Karena, di lapangan keserakahan sering terlihat. Ketika seseorang serakah, maka ia tidak senang melihat orang lain mendapatkan penghargaan. Ketika seseorang serakah, maka ia tidak senang melihat orang lain sukses. Ketika seseorang serakah, maka ia akan menghalalkan segala cara untuk memuaskan keserakahannya. Di sinlah kita akan menghancurkan hubungan kita dengan orang lain, termasuk hubungan dengan anggota keluarga. Gara-gara serakah terhadap warisan, maka hubungan persaudaraan bisa hancur lebur. Gara-gara serakah terhadap uang, maka hubungan dengan anggota keluarga menjadi tidak harmonis. Keserakahan akan menghancurkan banyak orang.

Ketiga, dampak personal. Keserakahan ternyata juga akan menghancurkan kehidupan pribadi kita. Kita akan terus dikuasai oleh niat-niat busuk, pikiran-pikiran jahat demi memuaskan keserakahan yang sebenarnya tidak akan pernah terpuaskan. Kita menjadi jahat oleh karena keserakahan kita sendiri. Nanti kalau tubuh kita sudah berada di peti mati, maka kenangan seperti apakah yang dimiliki oleh para pelayat? “Oh dia orangnya baik dan saya sangat kehilangan dia. Atau, oh dia itu orangnya serakah, memang pantas dia berada di neraka.” Kehidupan seperti apakah yang ingin kita ukir bagi diri kita? Kehidupan seperti apakah yang orang lain akan kenang tentang diri kita?

Alkisah dalam mitologi Yunani diceitarakan tentang saudagar kayu yang sangat kaya. Ia bernama Erisychton (baca: Er-is-ya-thon). Dia terkenal sebagai orang yang serakah. Dia hanya berpikir tentang keuntungannya melulu.

Tak ada yang sakral baginya. Di tanahnya terdapat sebuah pohon istimewa yang dicintai oleh para dewa. Di pohon itu selalu diikatkan doa-doa kaum beriman. Tak sedikit pun ia peduli pada keistimewaan pohon tersebut.

Bahkan, pada suatu hari, dia mengambil kapak untuk menebangnya setelah menghitung hasil keuntungan menjual kayu pohon istimewa tersebut. Segala protes tak digubris. Akibatnya, salah satu dewa mengutuk dia atas keserakahannya. Dewa itu berkata bahwa dia akan didera rasa lapar yang tidak akan pernah ada puasnya. Kutukan itu pun terjadilah. Dia mulai memakan persediaannya. Tetapi tidak terpuaskan, lantas ia memakan istri dan anak-anaknya juga. Akhirnya, tak ada lagi yang bisa dimakan selain memakan diri sendiri, dan terjadilah diemikian. (Diadaptasi dari Simon Filantropha, “Monster yang Memangsa Diri Sendiri,” Jawa Pos, Rabu, 2 Januari 2008).

Dus, keserakahan adalah virus berbahaya yang bukan saja memangsa orang lain, tetapi juga diri sendiri. Waspadalah!

No comments: