Tuesday, October 31, 2006

31 OKTOBER: TANGGAL YANG TERLUPAKAN

Apa yang terjadi pada tanggal 31 Oktober? Ah itu mungkin ulang-tahunnya si Acong, si Aguan, si Mbok Sronto, dan seterusnya. Namun tahukah kita bahwa tanggal itu merupakan tanggal bersejarah di mana seluruh gereja Kristen Protestan mendapatkan identitasnya yang baru? Ya benar, identitas yang baru karena pada tanggal 31 Oktober 1517 telah terjadi reformasi. Reformasi dari “tirani” otoritas manusia yang telah menggeser otoritas Alkitab. Tanggal itu adalah tanggal di mana seorang anak manusia yang bernama Martin Luther berjuang untuk mengembalikan posisi Alkitab sebagai sumber dan standar kekristenan. Tapi siapakah Martin Luther itu?

Dalam kesempatan kali ini, saya tidak berminat untuk menyugguhkan biografi Martin Luther secara detail; kali ini, saya hanya ingin mengangkat hal-hal penting dari sejarah perjuangan Martin Luther yang telah menjadi warisan berharga dalam gereja kita, baik sadar maupun tidak sadar. Ada dua hal dari diri Luther dan perjuangannya yang dapat kita renungkan, antara lain: (1) Kepekaan yang sangat tinggi terhadap kesalahan gereja. Seperti kita ketahui, Luther tidak hidup di luar Katolik, sebaliknya ia hidup di dalam kekatolikannya, bahkan ia pernah hidup di biara Augustinian. Menurut saya, Luther sebagai umat Katolik, mestinya berlaku sama dengan umat-umat lainnya, yakni menganggap bahwa pemimpin gerjea adalah orang yang suci dan benar. Namun pada kenyataanya tidaklah demikian. Luther ternyata tidak sepenuhnya terpengaruh pada pandangan umat tentang pemimpin gereja Katolik. Hal ini telah dibuktikan ketika ia memrotes seorang imam Dominikan, Johann Tetzel, yang memproklamirkan indulgensia (surat penghapusan dosa). Luther merasa ada yang tidak beres dengan indulgensia itu. Herannya, di kala umat Katolik sudah terbuai dengan penjelasan pemimpin gereja tentang indulgensia, namun Luther tetap peka terhadap kesalahan pemimpin gereja.

Kepekaan inilah yang dapat kita pelajari dan aplikasikan dalam kehidupan bergereja. Kita harus terus sadar bahwa pemimpin gereja, seperti majelis dan hamba Tuhan, bukanlah Tuhan yang tak dapat salah, sebaliknya ia hanyalah manusia yang lemah dan terbatas. Sebab itu, kepekaan terhadap “kejatuhan” pemimpin gereja adalah hal yang sangat baik. Namun perlu digarisbawahi, bahwa kepekaan di sini tidak sama artinya dengan suka mencari-cari kesalahan pemimpin gereja. Kepekaan yang dimaksud di sini adalah kepekaan seperti Luther, yaitu kepekaan yang benar atas ketidak-benaran. Kepekaan yang benar itu akan timbul bila kita sendiri memiliki motivasi, cara dan tujuan yang benar. Jadi, silakan peka terhadap kesalahan pemimpin gereja, asalkan kita juga peka terhadap apa yang ada dalam hati kita.

(2) Keberaniannya melawan kaum mayor. Kepekaan Luther terhadap kesalahan gereja tidak berhenti sampai di otaknya saja. Namun kepekaan itu ia tunjukkan dengan menancapkan 95 dalil di pintu gereja Kastil dan salinannya di pintu gereja Wittenberg. Dengan demikian, Luther telah “menabuh gendang perang” terhadap gereja Katolik. Tidak lama setelah penancapan 95 dalil, Paus pada zaman itu langsung menganggap Luther sebagai seorang Jerman mabuk dan seorang penyesat. Akhirnya, ia diekskomunikasi (dikeluarkan dari gereja Katolik) oleh Paus dengan akta Exurge Domine pada tanggal 15 Juni 1520. Namun apakah perlakuan gereja Katolik terhadapnya membuat dia “jera” untuk memberitakan apa yang benar? Tidak! Sejarah membuktikan bahwa hingga ajalnya, Luther bersama Philip Melanchton tetap mengajarkan kewibawaan Alkitab pada jemaatnya. Pandangan Luther yang radikal ini pasti dianggap sebagai pandangan minor oleh gereja Katolik, yang adalah kaum mayor waktu itu. Namun yang minor ini ternyata telah mengusik kaum mayor yang tidak benar, bahkan ia telah mempengaruhi pemikiran generasi berikutnya.

Sekarang, tidak seperti Luther, kita sebagai kaum minor acap berlindung dalam posisi “cari aman” alias mendiamkan masalah, bahkan ikut saja dalam masalahnya. Tapi renungkan, apakah posisi ini adalah posisi yang benar-benar aman? Ternyata tidak juga. Dengan kita mendiamkan apa yang salah, kita sebenarnya sedang menyetujui kesalahan tersebut secara diam-diam. Dan artinya, kita pun juga turut melakukan kesalahan. Jadi, sebenarnya posisi “cari aman” adalah posisi yang sebenarnya tidak aman. Lalu apa yang harus kita lakukan bila kita adalah kaum minor yang melihat kesalahan pada kaum mayor? Jawaban saya adalah jadilah kaum minor yang berfungsi untuk membuat kaum mayor terusik. Lihatlah sebuah kerikil. Ia kecil, tapi bila ia menancap di telapak kaki yang jauh lebih besar darinya, maka kita akan terusik. Belajarlah dari Luther agar menjadi “kerikil” yang berfungsi.

Akhirnya, tanggal 31 Oktober adalah tanggal yang semestinya tidak boleh dilupakan oleh kaum Protestan, seperti kita. Tanggal tersebut seharusnya mengingatkan kita akan hari reformasi. Bukan saja reformasi yang terjadi pada tahun 1517, namun reformasi yang juga terjadi setiap tahun bagi diri kita. Yaitu, reformasi atas diri kita, reformasi atas apa yang selama ini seharusnya kita lakukan namun kita tidak lakukan sebagai orang Kristen. Sekarang tengoklah negara kita. Rakyat seringkali meneriakkan reformasi, namun kenapa negara kita justru terasa jauh dari yang dicita-citakan oleh reformasi? Satu masalahnya, mungkin karena orang yang berteriak reformasi adalah orang yang tidak pernah mereformasi dirinya. Kawanku, janganlah kita menjadi seperti orang yang demikian! Selamat hari Reformasi!

No comments: